Dalam KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) kata efficacy diartikan
sebagai kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah Self Efficacy dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Bandura dan
Wood (1989, hal. 806, dalam Mustaqim, 2008, hal. 21) menyatakan self eficacy adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk
menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi. Secara kontekstual Bandura
(1994, hal. 71, dalam Mustaqim, 2008, hal. 21) memberikan definisi self efficacy sebagai berikut : self
efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya
untuk menghasilkan tingkatan performa yang telah terencana, dimana kemampuan
tersebut dilatih, digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam
hidup seseorang. Definisi self efficacy
terus berkembang. Bandura (1997, hal. 3. dalam Mustaqim, 2011, hal. 21)
mengartikan self efficacy sebagai
berikut : Self efficacy merupakan
keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan melaksanakan
serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Menurut Alwisol (2004, hal.
344) efikasi adalah persepsi mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam
situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki
kemampuan tindakan yang diharapkan. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat
melakukan tindakan bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena
cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai),
sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Perubahan tingkah laku
dalam, sistem Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi
diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah,
ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi empat sumber,
yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious
experience), persuasi sosial (social
persuation), dan pembangkitan emosi (emotional/physiological
states).
1.
Pengalaman
performansi
Pengalaman
performansi adalah prestasi yang pernah
dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat
pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi,
sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi
dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya :
a.
Semakin sulit
tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi.
b.
Kerja sendiri,
lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok, dibantu orang lain.
c.
Kegagalan
menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin.
d. Kegagalan dalam
suasana emosional atau stres, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal.
e. Kegagalan
sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk
kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.
f.
Orang yang biasa
berhasil, sesekali gagal tidak memengaruhi efikasi.
2.
Pengalaman
vikarius
Diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati
keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang
yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur
yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar.
Sebaliknya, ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa
jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang
diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.
3.
Persuasi sosial
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui
persuasi sosial.
Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari
orang lain dapat memengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya
kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.
4.
Keadaan emosi
Keadaan emosi yang mengikuti
suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang
kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun, bisa terjadi,
peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri.
Efikasi diri sebagai
prediktor tingkah laku, menurut Bandura (Alwisol, 2004, hal. 347), sumber pengontrol tingkah laku
adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi diri
merupakan variabel pribadi yang penting, yang kalau digabung dengan
tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu
tingkah laku mendatang yang penting. Setiap individu mempunyai efikasi diri
yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada :
1.
Kemampuan yang
dituntut oleh situasi yang berbeda itu.
2.
Kehadiran orang
lain, khususnya saingan dalam situasi.
3.
Keadaan
fisiologis dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau
rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah
laku.
Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai Prediktor
Tingkah laku
Efikasi
|
Lingkungan
|
Prediksi hasil tingkah laku
|
Tinggi
|
Responsif
|
Sukses,
melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.
|
Rendah
|
Tidak
responsif
|
Depresi,
melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit.
|
Tinggi
|
Tidak
responsif
|
Berusaha keras
mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan protes, aktivitas sosial,
bahkan memaksakan perubahan.
|
Rendah
|
Responsif
|
Orang menjadi
apatis, pasrah, merasa tidak mampu.
|
Perkembangan self efficacy, dalam tiap fase perkembangan dibutuhkan kompetensi dari
individu untuk berhasil melalui tiap fase perkembangan tersebut. Meskipun,
tahap perkembangan yang dilalui individu tidaklah sama. Namun, keyakinan akan
kemampuan diri secara konsisten akan memberikan pengaruh dalam tiap tahap
perkembangan. Teori sosial kognitif memberikan analisis mengenai perubahan
perkembangan self efficacy sepanjang
rentang hidup manusia. Bandura (1997, hal. 164-211, dalam Mustaqim, 2011, hal.
29) membedakan fase-fase perkembangan self
efficacy menjadi beberapa tahapan :
1.
Masa awal perkembangan.
Pada awal perkembangannya, manusia dilahirkan tanpa merasakan sesuatu mengenai
diri (self). Bayi menjelajah
pengalaman seperti melihat dirinya
menghasilkan dampak dengan tindakan yang mereka lakukan, menyediakan dasar awal
untuk mengembangkan rasa efficacy. Tangisan menghadirkan orang tua,
menggoyangkan bel, menghasilkan bunyi, dan menendang dapat menggoyangkan tempat
tidurnya. Dengan mengamati secara berulang-ulang bahwa kejadian di
lingkungannya terlihat dengan tindakan, tetapi tidak dalam ketidakhadirannya,
bayi belajar mengenai tindakan menghasilkan dampak. Bayi yang memiliki
pengalaman sukses dalam mengontrol kejadian di lingkungan membuatnya
lebih memberi perhatian terhadap perilakunya dan lebih
kompeten dalam mempelajari respon efficacy, dari pada bayi yang tidak
memerdulikan bagaimana mereka berperilaku. Perkembangan efficacy
personal membutuhkan lebih dari sekedar menyadari tindakan menghasilkan dampak.
Tapi tindakan tersebut harus dianggap sebagai bagian dari diri. Diri menjadi
berbeda dari orang lain melalui pengalaman yang berbeda. Sejalan dengan bayi
yang mulai menjadi anak-anak, mereka yang berada di sekitarnya memerhatikan dan
memerlakukannya sebagai orang yang berbeda. Berdasarkan pertumbuhan seseorang
dan pengalaman sosial,
mereka membentuk representasi simbolik dari diri mereka sebagai diri yang berbeda.
2. Sumber-sumber
kerluarga terhadap self efficacy.
Anak kecil harus mendapatkan pengetahuan diri (self-knowledge) mengenai
kemampuan dalam area fungsi yang lebih luas. Mereka harus membangun, menilai,
dan melakukan tes terhadap kemampuan fisik, kemampuan sosial, keahlian bahasa, dan keahlian kognitif dalam
memahami dan mengelola banyak situasi yang mereka hadapi setiap hari.
Pengembangan bahasa mendorong anak-anak memahami pengertian simbolik untuk
merefleksikan pengalaman dan apa yang orang lain ceritakan kepada mereka,
mengenai kemampuannya, dan juga memperluas pengetahuan diri mengenai apa yang
bisa dan tidak bisa mereka lakukan. Awal pengalaman efficacy berpusat
pada keluarga. Keluarga menjadi tempat awal seorang anak mengetahui perbedaan
antara individu baik dari segi usia, perbedaan jenis kelamin, dan modelling.
3. Memperluas self
efficacy melalui pengaruh teman sebaya. Pengalaman pengujian efficacy
anak-anak berubah secara substansial sejalan perpindahan mereka menuju
komunitas yang lebih besar. Dalam hubungan dengan teman sebaya, mereka
memperluas pengetahuan diri mengenai kemampuannya. Teman sebaya menyediakan
fungsi efficacy yang penting. Mereka yang paling berpengalaman dan
berkompeten menjadi model efficacy dalam berpikir dan berperilaku.
4. Sekolah sebagai
perantara dalam menumbuhkan self efficacy, selama periode penting dalam
pembentukan kehidupan anak, sekolah mempunyai fungsi utama untuk menumbuhkan self
efficacy kognitif, serta menguji hal tersebut dalam situasi sosial. Di sini pengetahuan dan keahlian berpikir mereka
dites, dievaluasi, dan dibandingkan secara sosial. Ketika sang anak menguasai keahlian kognitif,
mereka mengembangkan rasa efficacy intelektual.
5.
Pertumbuhan self
efficacy melalui pengalaman transisional remaja, setiap periode perkembangan membawa serta tantangan baru untuk coping efficacy, sebagai remaja
yang mendekati tuntutan dewasa, mereka harus belajar untuk memikul tanggung jawab
terhadap diri mereka sendiri dalam setiap dimensi kehidupan. Hal ini memerlukan
penguasaan benyak keahlian dan cara untuk berintegrasi dalam masyarakat dewasa.
Belajar bagaimana menghadapi perubahan pubertas, menjalin hubungan secara
emosional, dan persoalan seksual menjadi masalah yang sangat penting. Tugas
untuk memilih perkerjaan apa yang akan dikejar juga tampak dalam periode ini.
Remaja memperluas dan memperkuat rasa efficacy mereka dengan belajar
bagaimana untuk sukses dalam berhadapan dengan masalah yang belum mereka hadapi dengan
baik.
6. Self
efficacy dalam masa dewasa. Masa
dewasa awal merupakan periode ketika seseorang harus belajar untuk menangani
banyak tuntutan baru yang muncul dari hubungan persahabatan, hubungan
pernikahan, kedudukan sebagai orang tua, dan karir pekerjaan. Seperti dalam
tugas penguasaan yang lebih dulu, sebuah bentuk rasa self efficacy
berperan penting terhadap pencapaian kemampuan dan pencapaian kesuksesan lebih
lanjut. Mereka yang memasuki kedewasaan dengan sedikit dibekali keahlian dan
terganggu oleh ketidakyakinan
diri menemukan banyak aspek dalam hidupnya penuh stress dan kemurungan. Memulai
karir pekerjaan yang produktif memberikan tantangan transisional dalam masa
dewasa awal. Terdapat banyak cara keyakinan self efficacy menyumbang
terhadap pengembangan karir dan kesuksesan dalam menguasai suatu keahlian. Pada
fase awal self efficacy menentukan seberapa baik mereka mengembangkan
dasar kognisi,
manajemen diri, dan keahlian interpersonal. Keahlian psikososial menyumbang dorongan
lebih kepada kesuksesan dalam karir daripada dalam keahlian keterampilan yang
bersifat
teknis.
7. Menilai kembali self
efficacy dalam usia lanjut, isu self efficacy dalam usia lebih tua
berpusat pada reappraisal dan misappraisal mengenai kemampuan
mereka.
Bandura (1997, hal. 42, dalam Mustaqim 2008, hal. 37) menyebutkan
bahwa ada tiga dimensi self efficacy,
yaitu magnitude, generality, dan strength.
1.
Magnitude
Dimensi magnitude
ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang
dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan self efficacy secara individual mungkin
terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan
melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan
tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang dimilikinya.
2.
Generality
Dimensi generality
ini berhubungan dengan keyakinan seseorang terhadap
kemampuan diri dapat berbeda dalam hal generalisasi. Maksudnya seseorang
mungkin menilai keyakinan dirinya untuk aktivitas-aktivitas tertentu saja.
3.
Strength
Dimensi strength ini berkaitan
dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya.
Tingkat self efficacy yang lebih
rendah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya. Sedangkan, orang yang memiliki self efficacy yang kuat akan tekun dalam
meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.
Berdasarkan beberapa teori dan
penjelasan self efficacy di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa inti dari self
efficacy adalah keyakinan atas kemampuan diri. Kemudian, perkembangan self efficacy, dalam tiap fase
perkembangan dibutuhkan kompetensi dari individu untuk berhasil melalui tiap
fase perkembangan tersebut. Meskipun, tahap perkembangan yang dilalui individu
tidaklah sama.
Sumber referensi :
Alwisol. 2004. Psikologi
Kepribadian. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.